Hari masih pagi ketika saya memutuskan
untuk mengajak anak-anak berwisata ke Museum Situs Kepurbakalaan Banten
yang terletak di Kawasan Wisata Banten Lama di desa Kasemen,
Serang-Banten, pada Minggu 21 Juli 2013. Kebetulan saya tinggal di desa
Kramatwatu yang letaknya dekat dengan kawasan situs sejarah Banten Lama
yang pernah jaya pada abad ke XVI.
Saya berangkat dari rumah menggunakan
sepeda motor melalui. Situs pertama yang saya temui adalah Danau
Tasikardi. Danau ini merupakan penampungan air yang akan dijernihkan
untuk kemudian dialirkan ke keraton menggunakan pipa-pipa yang terbuat
dari tanah liat dan ditanam di bawah tanah. Mengagumkan bukan? Bahkah
teknologi pipa sudah ada di abad ke XVI.
Konon, bagian dasar danau ini dilapisi keramik. Dan dahulu danau ini
menjadi tempat wisata bagi para keluarga kerajaan. Danau seluas 5Ha ini
kini juga menjadi tempat rekreasi yang dibuka untuk masyarakat umum.
Suasananya begitu sejuk karena di sekeliling danau banyak pepohonan
rindang. Disini kita dapat bermain sepeda air yang berbentuk bebek.
Saya tidak mampir ke danau tersebut,
karena tujuan saya yaitu Museum Kepurbakalaan Banten. Jarak dari rumah
saya ke museum ini hanya 10 menit dengan berkendara. Jika menggunakan
angkutan umum, bisa memalui pasar lama Serang dengan membayar ongkos
sebesar Rp7.000,-. Memasuki halaman museum kita dapat melihat sebuah
Meriam Ki Amuk. Meriam ini adalah hasil rampasan dari tentara Portugis
yang berhasil dikalahkan dalam perang. Meriam ini terbuat dari tembaga
dengan panjang 2.5 meter.
Selain meriam, di halaman museum juga
dapat dilihat peralatan penggilingan tebu untuk pembuatan gula, serta
berbagai hiasan pintu gerbang yang terbuat dari batu-batu yang diukir.
Didalam museum kita dapat melihat lebih
banyak lagi benda-benda bersejarah lainnya. Untuk masuk ke dalam museum,
cukup membayar harga tiket masuk sebesar Rp1.000,- saja. Tepat di pintu
masuk kita akan disuguhi hasil kerajinan gerabah masyarakat Banten pada
abad ke XVI. Di sebelah kanan pintu, dipajang silsilah raja-raja dari
Kesultanan Banten Lama, serta patung sapi peninggalan kebudayaan
masyarakat hindu jauh sebelum islam ada di Indonesia.
Sementara disisi kiri pintu, terdapat
miniatur wilayah Banten Lama yang terletak di sisi teluk Banten.
Disinilah saya kemudian mendapatkan infromasi dari petugas bahwa, jauh
sebelum Singapura maju, Banten telah berjaya dengan pelabuhan Karangantu
sebagai satu-satunya pelabuhan di Asia Tenggara yang menjadi pintu
masuk para pedagang dari berbagai Negara.
Melihat miniatur ini saya langsung
tergoda untuk mendatangi satu persatu tempat-tempat bersajarah di
kawasan wisata Banten Lama, seperti keraton Surosowan yang menjadi pusat
pemerintahan kerajaan Banten Lama, Masjid Agung Banten yang dibangun
pada abad ke XVI, Benteng Speelwijk yang menjadi pusat pertahanan VOC,
Vihara Avalokitesvara yang cantik yang juga dibangun pada abad ke VXI,
Istana Kaibon, serta Pelabuhan Karangantu.
Selesai mempelajari miniatur sebagai
panduan untuk menjelajahi seluruh situs yang ada, saya melanjutkan masuk
ke dalam museum. Saya melihat alat-alat pertanian yang digunakan untuk
bercocok tanam. Ada juga pengampul pancing yang terbuat dari timah,
serta uang logam kuno. Disudut ruangan perdapat patung manusia dalam
lemari kaca. Petung tersebut tengah memperagakan cara menyuling emas
dengan alat tradisional pada abad ke XVI.
Dekat dengan patung tersebut dipamerkan
berbagai perabotan rumah tangga yang terbuat dari keramik peninggalan
masyarakat cina yang bermukim di Banten. Perabotan seperti piring,
gelas, dan mangkuk ini berwarna dominan putih dan dan lukisan biru di
atasnya. Benar-benar terlihat antik dan cantik!
Di dalam museum ini, yang paling banyak
dipamerkan adalah benda-benda peninggalan kerajaan Banten Lama. Disini
saya melihat banyak senjata seperti tombak dan keris. Ada juga batu
berbentuk balok yang dulu digunakan sebagai tiang pintu gerbang keraton,
serta besi-besi sebagai kunci. Selain itu, dipamerkan juga berbagai
lukisan dan miniatur yang menggambarkan suasana kerajaan dan masa
penjajahan.
Saya juga tertarik pada batu-batu
berbentuk lempengan hitam yang di permukaannya terdapat tulisan berbaha
inggris kuno. Rupanya lempengan batu tersebut adalah batu nisan
orang-orang penting dari eropa yang meninggal di Banten. Di antara
nisan-nisan orang eropa tersebut, ada juga satu batu nisan yang di
atasnya terukir huruf kanji. Mungkin itu batu nisan untuk orang cina.
Dalam museum ini terdapat satu ruangan
khusus yang di dalamnya tersimpan sebuah mesin cetak yang digunakan
untuk mencetak uang secara manual pada tahun 1900-an. Di dinding ruangan
ini terpasang juga contoh-contoh uang kertas yang digunakan sebagai
alat tukar pada masa itu. Contoh uang ini berukuran besar dan dalam
bentuk digital printing.
Dekat dengan pintu keluar, dipamerkan
sebuah rumah adat suku Baduy. Baduy adalah sebuah suku yang bermukim di
pedalaman Banten. Mereka membatasi diri dari peradaban modern untuk
menjaga kelestarian adat leluhurnya. Hampir seluruh bagian dari rumah
adat baduy ini terbuat dari bambu, hanya atapnya saja yang terbuat dari
daun aren.
Rupanya rumah adat Baduy ini bukanlah
hal terakhir untuk dilihat sebelum keluar dari museum. Tepat di muka
pintu terdapat sebuah lemari kaca yang di dalamnya tersimpan bacaan
khutbah jum’at yang dicetak dan terbuat dari tembaga. Dengan adanya
cetakan khutbah ini tentu semakin menegaskan bahwa Banten Lama adalah
kerajaan yang bernafaskan islami pada abad ke XVI.
0 comments:
Post a Comment