Hutan Lindung Gunung Lumut itu memiliki luasan sekitar 42 ribu hektar dan puncak tertingginya 1.210 meter di atas permukaan laut (dpl). Namun dari ketinggian 500 dpl kita sudah dapat melihat lumut menyelimuti hulu sungai yang keluar dari Gunung Lumut, salah satunya sungai Muluy.
Salah satu Suku Dayak Paser ini bernama Muluy, karena sejak jaman dahulu berada di pinggiran sungai Muluy, yakni aliran sungai dari Gunung Lumut. “Awalnya kami mau dipindah sangat jauh dari Gunung Lumut, namun kami menolak, kami tetap bertahan untuk tetap berada di bawah kaki Gunung Lumut, karena sejak nenek moyang, kami menjaga kelestarian di Gunung Lumut,” ungkap Jidan.
Suku Muluy telah berada di kaki Gunung Lumut sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagai layaknya suku dayak, seharusnya Suku Muluy berada di daerah aliran sungai Muluy. Namun entah kenapa pada tahun 2000, Suku Muluy berada sekitar 700 meter dari pinggir sungai.
Kehidupan Suku Muluy di sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut sangat sederhana. Bagi mereka, dengan menjaga kelangsungan alam sekitar maka alam akan memberikan apa yang dibutuhkan. Suku Muluy sekaligus menjadi penyangga terakhir Gunung Lumut yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun 1996 lalu. Dan Kampung Muluy merupakan salah kampung yang sangat dekat dengan Gunung Lumut tepatnya di bagian utara Gunung Lumut.
Keanekaragaman hayati di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut yang terletak 1200 meter di atas permukaan laut ini sangat luar biasa, belum lagi mineral yang terkandung di dalamnya. Banyak perusahaan yang berusaha untuk menaklukan kawasan Gunung Lumut, namun selalu kandas.
“Berapa banyak pengusaha yang masuk ke kampung Muluy untuk sekedar melakukan lobby agar diperbolehkan untuk mengeksploitasi kawasan Gunung Lumut, namun kami tidak sama sekali memperbolehkan, karena hutan dan Gunung Lumut merupakan penghidupan kami,” ujar Bapak Jidan, Kepala Adat Suku Muluy
Hingga pada tahun 2012 lalu, Bapak Jidan secara adat memutuskan untuk menutup segala akses ke Gunung Lumut. Keputusan tersebut diambil seorang kepala adapt, karena ia ingin alam Gunung Lumut tetap terjaga.
Suku Muluy hanya hidup dari hasil pertanian, berburu burung, perkebunan dan hasil hutan sejak jaman nenek moyang mereka. Hingga kini banyak nilai kearifan lokal yang masih merekat di Muluy untuk pelestarian lingkungan.
Masyarakat Muluy masih melakukan ladang berpindah. Namun jangan salah persepsi, karena berladang itu ada ketentuan, misal membuka ladang, tidak sembarang buka, mendengar dan melihat ladang. ”Kalau mau membuka ladang, semua harus melihat alam. Pertama melakukan pertemuan, lalu ditunjukan tempatnya, sama-sama menentukan dan jangan sembarang buka. Harus melihat alam, kesalahan manusia akan menhancurkan alam dan menimbulkan bencana untuk masyarakat Muluy. Saat membuka ladang juga menggunakan upacara adat.” ungkap Jidan
Ladang yang sudah dibuka dimanfaatkan selama dua tahun, setelah itu berpindah lagi ketempat lain yang telah ditentukan. Namun ladang sebelumnya nantinya akan di pergunakan lagi setelah lima tahun, setelah humus terbentuk. Jadi tidak ada membuka lahan baru, yang ada hanya memanfaatkan ladang yang terdahulu yang telah ditinggal selama lima tahun untuk memenuhi humus tanah. Tanaman yang banyak terdapat di ladang suku Muluy yakni padi, jagung, pisang, sayur.
Bagi suku Muluy, berburu burung untuk dijual merupakan pekerjaan yang dilakukan suku Muluy, bahkan hingga berhari-hari mereka mencari burung ke hutan. Burung yang menjadi buruan yakni murai batu. Namun tidak setiap hari mereka melakukan penangkapan terhadap burung tersebut. Mereka tetap melakukannya di bulan-bulan tertentu dan hari-hari tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian hewan tersebut. ”Kami tidak tiap hari mencari burung, biasanya setelah kami mendapat burung, pencarian selanjutnya dilakukan beberapa bulan, setelah burung jenis yang kami tangkap beranak pinak,” ungkap Jidan.
Hasil hutan lain yang menghidupi suku ini adalah gaharu dan madu. Saat ini suku Muluy telah melakukan pengembangbiakan pohon gaharu di hutan sekitar kampung. Sementara untuk kayu lainnya, suku Muluy melarang untuk mengambil, apapun bentuknya. ”Kami melakukan hukum adat untuk siapapun yang mengambil kayu di hutan lindung dan hutan kawasan kampung Muluy. Meskipun kayu tersebut digunakan untuk pembangunan desa. Begitupula dengan pohon Bangris. Pohon ini sangat di jaga, karena di pohon ini tempat menghasilkan madu, sehingga siapapun yang melakukan penebangan pohon tersebut terkena hukum adat. Hukumannya harus menganti sejumlah uang sesuai dengan nilai uang pohon yang di tebang,” ungkap Jidan
Hingga kini masih banyak pembalakan liar di kawasan pinggiran kampung Muluy diluar wilayah Muluy, dari hasil pengamatan ekspedisi lalu, kayu blambangan masih menjadi primadona para pembalak di kawasan terdekat kampung Muluy. Semua dapat terlihat di pinggir-pinggir jalan banyaknya kayu blambangan, terutama di desa Swan Slotung. Tanpa penanganan lebih lanjut dari aparat keamanan dan penegakan hukum yang tegas, kampung Muluy dan segala kearifan mereka terhadap alam akan musnah tertelan ekspansi uang yang menghantam.
0 comments:
Post a Comment